Senin, 26 Mei 2008
Dilema Wahyu dan Realitas Kebenaran
Sabtu, 17 Mei 2008, akhir pekan yang diselimuti cahaya matahari menyengat. Dalam situasi seperti ini pentas hari I, AiR Sepekan Monolog digelar. Naskah “Masmirah” karya Arthur S Nalan diimplementasikan oleh Kartika Megasari yang akrab disapa Genjer. Teater Arena Taman Budaya Jambi yang sebelumnya telah dikenal panas, hari ini semakin panas dengan sesaknya penonton. Mungkin karena keingintahuan kemampuan keaktoran seorang Genjer, sekedar menonton karena “paksaan” sekolah, atau memang benar-benar murni karena kesadaran menikmati pertunjukan teater dalam hal ini monolog sebagai pemenuhan kebutuhan batiniah.


Setelah menonton pertunjukan monolog ini, saya teringat dengan sepucuk surat yang disampaikan alm. Kuntowijoyo kepada alm. Fahri menjawab pertanyaan tentang latar belakang historis terciptanya novel Khotbah di atas Bukit. Dengan sederhana dan hanya sebaris kalimat beliau menjawab. Novel itu tercipta ketika masyarakat Jawa terobsesi dengan kehadiran Imam Mahdi, Mesiah, Ratu Adil, bahkan yang masih terpelihara sampai saat ini adalah kemunculan Satrio Piningit. Suatu jawaban sederhana tetapi mematahkan seluruh analisis yang telah dilakukan Fahri terhadap analisis novel “Khotbah di atas Bukit” sebagai skripsi.

Seketika itu pula, sinopsis yang mengungkapkan Masmirah mengandung anak raja Majapahit meski digurigai sebagai anak memedi. Dengan keyakinannya serta dukungan seorang kyai Masmirah melahirkan anak yang diberi nama Sembodo meski akhirnya meninggal dunia. Masmirah kemudian menjadi paranormal meski berbekal air putih dari gentong. Sinopsis ini agaknya membenarkan pernyataan alm Kuntowijoyo bahwa impian datangnya penyelamat masih melekat dalam pikiran masyarakat. Sekaligus mementahkan asumsi bahwa “Masmirah” hanya sekedar naskah monolog dengan multi karakter.

Aspek mimpi lebih tepatnya impian direpresentasikan dengan baik oleh Genjer. Secara ideal ia mampu “mewakili” keseluruhan tokoh yang terdapat dalam naskah meskipun kerap dibantu dengan perubahan posisi, pembedaan karakter dialog, penanda musik, oposisi mimik, bahkan gerak. Ia mampu mewujudkan perbedaan masing-masing tokoh dengan baik sehingga harus diakui pada tokoh tertentu, personalisasi aktor yang diberi beban untuk mewakili keseluruhan karakter cenderung hilang, menyatu dalam tokoh yang diperankan. Ini suatu keberhasilan penghayatan karakter yang baik.

Keberhasilan utama dalam merepresentasikan perbedaan karakter masing-masing tokoh ditentukan oleh kemampuan mengeksploitasi tubuh yang tidak hanya tubuh fisik tetapi juga tubuh sebagai ruh. Hal ini juga diperkuat dengan ritme narasi teks yang stabil. Meskipun juga terpeleset merepresentasikan karakter dr. Sitanggang dan karakter Kyai yang cenderung naïf. Itupun dapat difahami karena secara fisik keduanya amat berbeda dan entah disengaja atau tidak tokoh ini dihadirkan atau memang didasarkan interpretasi sebagai hasil proses pemahaman terhadap teks. Jika memang terdapat dalam teks maka keberadaan kedua tokoh ini hanya sebagai pelengkap semata. Sehingga representasi kedua karakter dalam pementasan cenderung fisikal, tak berjiwa.
Eksploitasi tubuh yang baik mengambarkan interpretasi terhadap teks dilakukan dengan baik. Hal ini dikarenakan kedua proses harus berjalan seiring sebab jika terabaikan salah satunya maka pementasan monolog Masmirah ini akan gagal. Naskah ini dapat dikategorikan sebagai repertoar yang membutuhkan kemampuan intelektual memadai dalam proses interpretasi karena terdapat intervensi kultural dan ideologi terhadap naskah. Hal ini dilakukan dengan baik sehingga intervensi tersebut tidak hanya terdapat di dalam teks tetapi melekat dalam pikiran penonton. Entah diakui ataupun tidak.

Kritik pementasan monolog “Masmirah” terdapat pada aspek estetika. Beberapa setting panggung cenderung mengganggu. Pemanfaatan kain putih sebagai layar hanya bersifat simbolis karena dipaksa merepresentasikan tokoh Raja Majapahit. Hal ini memperkuat asumsi bahwa faktor historis naskah “Masmirah” adalah situasi masyarakat yang menghadapi kesulitan sosial, ekonomi, bahkan bidaya sehingga mendambakan kedatangan Imam Mahdi, Mesiah, Ratu Adil, atau Satrio Piningit. Hanya saja dalam pementasan, tokoh spiritual yang didambakan hanya hadir dalam bayang-bayang di balik layar.

Tanggapan juga dilakukan terhadap pemanfaatan kendi yang difungsikan secara maksimal sebagai alat berpijak Raja Majapahit. Secara kultural kendi dalam masyarakat Jawa menduduki fungsi yang bersifat hakiki dikarenakan kegunaan menampung air bersih yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu kendi menempati posisi penting dan terhormat dalam kelengkapan rumah tangga masyarakat Jawa. Suatu keluarga yang secara fisik telah memiliki dan menempati rumah akan tetap merasa tidak lengkap dan merasa bersalah jika tidak ada kendi di rumahnya. Oleh karena itu penempatan Raja Majapahit di atas kendi terasa mengecilkan arti penghormatan kultural. Hal ini dikarenakan Raja Majapahit secara kultural dianggap mewakili keseluruhan masyarakat Jawa dan secara spiritual dianggap sebagai wakil Tuhan. Bisa jadi pula pemanfaatan kendi dengan memposisikan Raja Majapahit yang berdiri di atasnya dilakukan sebagai kritik kebudayaan. Inilah yang dimasud dengan dilema wahyu dan realitas kebenaran.

Bagaimanapun harus diakui pementasan monolog “Masmirah” berhasil dalam merepresentasikan karakter masing-masing tokoh. Interpretasi terhadap tekspun dilakukan dengan baik sehingga beban aktor sebagai pelaku tunggal yang mesti bertanggung jawab untuk “menghadirkan” keseluruhan tokoh dalam teks naskah ke teks pertunjukan dapat terpenuhi. Ini merupakan bahan renungan dan sekaligus bahan acuan bagi aktor yang ingin menjadikan monolog sebagai pilihan dalam aktivitas teaternya.

Hari kedua, 18 Mei 2008, mementaskan monolog “Penggali Perut” karya Anto D. Danuarta. Aktor Zidan yang selama dikenal sebagai “pengocok perut” sekarang harus menggali perut. Ia mesti mampu merepresentasikan dengan baik, tekanan ekonomi membuat orang menghalalkan segala cara. Misalnya seorang penggali kubur yang beralih profesi menjadi penjaga mayat karena prospek ekonomi lebih menjanjikan dengan cara menjual organ tubuh dari mayat-mayat yang dijaga.(dikutip dari Posmetro Jambi)



Admin OlehGenjer @ 12.36  
3 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
Tentang Ku


Name: Genjer
Home: Jambi, Indonesia, Indonesia
About Me:
See my complete profile

Jurnal Ku
Gudang Arsip
Daftar Link
Pesan Anda
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x